Masa yang berbeda memiliki tantangan yang berbeda, demikian pula memerlukan kebijakan yang berbeda. Lonjakan komoditas pada tahun 2010-12 memberikan keuntungan kepada Indonesia yang kaya sumber daya alam. Lonjakan tersebut awalnya dipicu oleh siklus ekonomi global, yang kemudian didorong oleh kenaikan harga komoditas akibat pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) pasca krisis keuangan global 2008.

Pertumbuhan PDB Indonesia melampaui 6% pada periode ini, didorong oleh ekspor sumber daya alam, khususnya batu bara. Pendapatan yang tinggi dari komoditas memicu siklus berantai positif perekonomian yang mengangkat daya beli masyarakat.

Namun, lonjakan tersebut nyatanya tidak bertahan. Ketika dampak pelonggaran kuantitatif memudar dan bersamaan dengan maraknya gerakan energi ramah lingkungan (green energy), batu bara dan produk komoditas lain kehilangan momentum. Indonesia pun mulai mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi sejak tahun 2013, beserta dengan negara-negara lain yang juga mengandalkan pendapatan dari sumber daya alam. Neraca transaksi berjalan berubah dari surplus menjadi defisit.

Hal ini menjadi pertanda bahwa Indonesia seharusnya tidak terlalu bergantung pada ekspor komoditas, yang nyatanya tidak stabil dan tidak berkelanjutan. Perekonomian jelas membutuhkan reformasi struktural.

Pemerintah menanggapi dengan meluncurkan reformasi infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan diversifikasi di sektor manufaktur dan juga sektor non-komoditas lainnya. Selama periode 2015-19, yang bisa kita sebut Reformasi Ekonomi Tahap I, Indonesia meningkatkan belanja infrastruktur menjadi 2,2-2,8% dari PDB, jauh meningkat dari 0,9-1,7% pada dekade sebelumnya. Pembangunan ini menghasilkan lebih dari 970 km jalan tol, 3.400 km jalan raya, 40 km jembatan, 30 bandara dan pelabuhan, 17 bendungan, dan sejumlah sarana LRT/MRT.

Tahapan yang diperlukan selanjutnya adalah mendorong investasi di sektor riil berupa pabrik dan bisnis untuk memanfaatkan infrastruktur baru tersebut dan memaksimalkan multiplier effect pada pertumbuhan ekonomi. Namun investasi – khususnya investasi asing langsung (foreign direct investment atau FDI) – belum banyak beranjak dari US$30 miliar per tahun sejak tahun 2013, dengan rasio FDI per PDB turun dari 3,2% pada 2014 menjadi 2,5% pada 2019. Hal ini tidaklah mengherankan jika kita sandingkan dengan peringkat global Indonesia untuk kemudahan berbisnis (ease of doing business) yang juga tidak berkembang banyak dari peringkat 73 pada tahun 2017-2019, tertinggal dari negara ASEAN lainnya seperti Singapura (#2), Malaysia (#12), Thailand (#21), Brunei (#66), dan Vietnam (#70) pada tahun 2019.

Kenyataan tersebut memerlukan adanya Reformasi EkonomiTahap II, dengan fokus pada deregulasi dan investasi. Dan untuk itu, Pemerintah menanggapi dengan ditetapkannya Omnibus Law yang baru-baru ini disahkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *